Di suatu sore yang kelabu, Andi duduk termenung di bangku taman. Suara riuh anak-anak bermain di latar belakang, tetapi pikirannya melayang jauh. Di dalam hatinya, ada dua suara yang saling berbisik—satu tentang pengabdian dan satu lagi tentang cinta.
Andi adalah relawan PMI yang sudah tiga tahun mengabdikan diri. Setiap kali sirine ambulans berbunyi, hatinya bergetar. Dia tahu, di balik bunyi itu ada harapan, ada nyawa yang harus diselamatkan. Namun, di sisi lain, ada Rina, gadis yang selalu menunggu di sudut hatinya. Rina adalah sosok yang sabar dan penuh pengertian, tetapi dia juga ingin Andi berkomitmen.
Suatu malam, setelah seharian penuh berlari-lari menolong korban bencana, Andi pulang dengan lelah. Rina sudah menunggu di depan pintu rumahnya. Dengan mata yang berkilau, dia berkata, “Aku tahu kamu sibuk, Andi. Tapi kapan kita bisa berbicara tentang kita?”
Andi menunduk. “Rina, aku… aku masih harus menyelesaikan banyak hal di PMI. Banyak orang yang bergantung padaku.”
Rina menghela napas. “Aku mengerti, tapi aku juga butuh kepastian. Kita sudah bertahun-tahun bersama, dan aku ingin tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.”
Dilema itu pun muncul. Di satu sisi, Andi merasa terikat oleh tanggung jawabnya sebagai relawan. Di sisi lain, dia tidak ingin kehilangan Rina, cinta yang selalu mendukungnya. Setiap kali dia melihat senyuman Rina, hatinya bergetar, tetapi setiap kali sirine berbunyi, tanggung jawabnya memanggil.
Hari-hari berlalu, dan Andi semakin terjebak dalam rutinitasnya. Tugas demi tugas menumpuk, sementara Rina semakin merasakan ketidakpastian. Suatu hari, Rina mengajak Andi untuk pergi ke sebuah acara. “Andi, ini penting. Aku ingin kita bisa bersama, menikmati waktu tanpa memikirkan dunia luar.”
Andi tersenyum lemah. “Tapi Rina, ada orang-orang yang butuh aku. Aku tidak bisa hanya pergi begitu saja.”
“Dan aku juga butuh kamu, Andi,” jawab Rina, suaranya mulai bergetar. “Kamu harus memilih. Cinta atau pengabdian.”
Itulah saat di mana dunia Andi serasa runtuh. Dia ingin menjadi pahlawan, tetapi dia juga ingin menjadi kekasih yang baik. Andi merasakan kebingungan yang mendalam. Setiap kali dia membantu orang lain, hatinya penuh, tetapi saat dia melihat Rina dengan mata yang penuh harap, hatinya terluka.
Beberapa minggu kemudian, Andi mendapat kabar bahwa Rina mengalami kecelakaan. Hatinya seolah tercabik-cabik. Dia berlari ke rumah sakit, dan saat melihat Rina terbaring lemah, semua pilihan yang ada terasa hampa. “Maafkan aku, Rina. Aku tidak seharusnya membiarkan ini terjadi.”
Rina tersenyum meski lemah. “Andi, aku tidak menyesal. Aku hanya ingin kamu tahu, apapun yang kamu pilih, aku akan selalu mendukungmu. Tapi hidupmu juga berharga, jangan lupakan itu.”
Air mata Andi mengalir. Dia menyadari bahwa pengabdian dan cinta bukanlah dua hal yang saling bertentangan. Mereka bisa berjalan beriringan jika dia bisa menemukan keseimbangan. Rina adalah bagian dari perjuangan hidupnya, bukan hambatan.
Setelah Rina pulih, Andi memutuskan untuk lebih bijak dalam mengatur waktu. Dia mulai melibatkan Rina dalam aktivitas PMI, menjadikan mereka pasangan dalam pengabdian. Dengan begitu, mereka bisa saling mendukung dan berbagi visi.
Di suatu sore yang cerah, Andi dan Rina duduk di bangku taman yang sama. Kini bukan hanya suara anak-anak yang terdengar, tetapi juga tawa mereka. Andi menggenggam tangan Rina. “Terima kasih telah bersabar. Aku berjanji untuk tidak melupakanmu dalam setiap langkahku.”
Rina tersenyum. “Dan aku berjanji akan selalu ada di sampingmu, di setiap pilihan.”
Cinta dan pengabdian tidak harus saling mengalahkan. Mereka bisa menjadi satu kesatuan yang indah, seperti dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Andi menyadari bahwa dalam hidup, kadang pilihan tidak harus sulit; yang penting adalah bagaimana kita menjalani pilihan itu dengan sepenuh hati.